Fashion Thrifting adalah kegiatan membeli barang-barang bekas layaknya pakaian, perabotan, barang rumah tangga, dan barang-barang lainnya, dari toko-toko atau pasar barang bekas. Istilah “thrifting” berasal dari kata “thrift,” yang berarti penghematan. Nah, target utama dari kegiatan thrifting ini adalah untuk mendapatkan barang-barang yang tetap di dalam kondisi baik bersama dengan harga yang lebih terjangkau daripada harga barang yang tetap baru.
Thrifting dapat di jadikan alternatif bagi Sahabat Fimela yang menginginkan melacak barang-barang unik atau vintage bersama dengan anggaran yang terbatas. Di era di mana konsumsi fesyen cepat semakin mendominasi, thrifting tawarkan pilihan konsisten yang lebih ramah lingkungan. Kegiatan berbelanja barang bekas ini mendukung mengurangi tekanan memproses dan pembuangan barang baru di dalam fast fashion (fesyen cepat).
Tak heran jikalau thrifting jadi pilihan model hidup penduduk waktu ini yang peduli bersama dengan keuangan pribadi, lingkungan, dan sosial. Jika Sahabat Fimela penasaran bersama dengan asal-usul budaya thrifting, liat informasi tersebut ini.
Asal mula budaya thrifting
Budaya thrifting punya akar peristiwa yang panjang dan bervariasi. Di lansir dari The State Press, praktek thrifting sudah tersedia sejak Abad Pertengahan, di mana baju bekas di gunakan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan sering kali di wariskan atau di peroleh melalui pertukaran. Perkembangan thrifting jadi lebih terorganisir terhadap abad ke-19 sejak munculnya organisasi layaknya Salvation Army dan Goodwill.
Ada era di mana thrifting jadi tidak relevan, yaitu waktu Revolusi Industri. Saat itu, nampak barang-barang baru yang lebih murah dan mudah dibuang. Thrifting jadi di akui kurang bagus dan seringkali di tujukan ke komunitas imigran.
Namun, sejalan waktu berjalan, fashion thrifting slot resmi selamanya berkembang. Era 1970-an jadi zaman keemasan untuk thrifting, terlebih di karenakan gerakan kontrabudaya. Pakaian bekas jadi simbol kebebasan dan ekspresi diri.
Selama sebagian dekade, fashion thrifting terus berkembang, selamanya relevan di dalam subkultur tertentu bahkan waktu mode baru mendominasi terhadap era 1980-an. Popularitas thrifting lagi hidup bersama dengan munculnya gerakan grunge di th. 1990-an sebagai tindakan melawan establishment. Saat ini, di sedang dominasi fesyen cepat dan konsumsi besar-besaran, arti thrifting semakin rumit untuk diidentifikasi.
Di Indonesia sendiri, pasar barang bekas sudah tersedia sejak lama, terlebih di pasar tradisional dan pasar loak. Menurut belajar yang di jalankan Feby Febriyadi Nur Rizka yang berjudul Fashion Thrifting sebagai Budaya Populer di Kalangan Mahasiswa, thrifting jadi tumbuh dan berkembang di Bandung terhadap th. 1990-2000.
Seiring berjalannya waktu, tidak hanya di Bandung saja, pasar-pasar thrifting termasuk nampak di kota-kota besar lainnya, layaknya Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Barang yang di tawarkan di dalam budaya thrifting di Indonesia semakin beragam. Selain baju bekas, perabotan, aksesoris, barang-barang rumah tangga, dan bahkan barang-barang langka atau antik termasuk dapat di temukan.
Perkembangan teknologi dan sarana sosial sudah memainkan peran besar di dalam memunculkan budaya thrifting. Saat ini, toko thrift tidak hanya tersedia toko fisiknya, tetapi termasuk toko daringnya. Banyak orang mendapatkan daya tarik di dalam melacak barang-barang unik, vintage, atau langka di pasar thrifting.
Seiring bersama dengan peningkatan kesadaran lingkungan, penduduk Indonesia semakin menerima dan menghormati barang-barang bekas. Selain di karenakan harganya yang terjangkau, mereka melihat thrifting sebagai alternatif konsisten untuk berbelanja dan mengurangi pengaruh negatif konsumsi barang baru terhadap lingkungan.